Senin, 06 Mei 2019

The Biography Of Hidayat Nur Wahid





Biografi Hidayat Nur Wahid


Hidayat Nur Wahid adalah salah seorang tokoh panutan dan menjadi teladan bagi dunia politik Indonesia. Nur Wahid adalah ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR),Sekaligus politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama dan gelar lengkapnya Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid,M.A. Ia dilahirkan di Klaten, pada tanggal 8 April 1960. Ia merupakan putra sulung dari tujuh bersaudara, pasangan H.Muhamad Syukri dan Siti Rahayu.
Sejak kecil, ia hidup sederhana dan agamis. Ayahnya, H. Muhammad Syukri (almarhum) memegang ijazah Sarjana Muda dari IKIP Negeri Yogyakarta. Meskipun berlatar Nadlatul Ulama(NU), Muhammad Syukri tercatat pula sebagai seorang pengurus Muhammadiyah. Ia berkarier di jalur pendidikan . Mulai menjadi guru SD,SMP,hingga akhirnya menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya, Siti Rahayu sebagai aktivis Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah. Ia juga berprofesi sebagai guru Tk, hanya saja sang ibu berhenti sebagai guru TK ketika anak keduanya lahir.
Sebagai anak guru, Nur Wahid mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Kecerdasan Nur Wahid sudah terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia sudah bisa membaca sebelum masuk SD. Kegemarannya membaca itu berlanjut sampai sekarang. Di masa anak-anak dan remaja, Nur Wahid mengaku gemar membaca komik Ko Ping Ho. “itu bacaan favorit saya,” katanya Nur Wahid. Selain membaca komik, Hidayat juga suka membaca buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarganya. Saat sekolah, Nur Wahid terhitung murid yang pintar. Di bangku SD Negeri 1 Kebondalem Kidul,Prambanan, dia selalu mendapat predikat juara. Meski belajar di SD Negeri, Nur Wahid menambah ilmu agama dengan mengaji di masjid pada malam hari. Selain itu, ia juga belajar membaca Al Quran secara privat kepada seorang kiai di desanya.
Selain beban belajar agama, Nur Wahid kecil juga diajar mengenal tanggung jawab pada keluarga. Ketika Nur Wahid duduk di kelas 3 SD, orangtuanya membelikan seekor kambing yang harus dikembalakan antara waktu Ashar hingga Maghrib. Dari kegiatan menggembala kambing
Inilah Nur Wahid mengaku belajar banyak hal. Mulai dari bertanggung jawab mencari rumput, ke mana harus menggembalakan kambing, hingga belajar tanggung jawab agar kambing-kambingnya tidak memakan tanaman petani. Nur Wahid menilai, orangtuanya mendidik anak-anaknya dengan keras dan disiplin. Nur Wahid harus menjalani jam belajar, jam tidur, dan jam shalat secara disiplin.
                        Setelah lulus dari SD pada 1972, Nur Wahid dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Wlisongo, Ngabar, Ponorogo. Satu tahun kemudian ia dipindahkan ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Di Gontor, Nur Wahid termasuk santri cerdas. Ia selalu mendapat ranking atas. Tidak hanya prestasi akademik, di kegiatan ekstra maupun intrakurikuler ia terlibat aktif. Dengan aktivitas pondok yang padat dan disiplin, jiwa kepemimpinan Nur Wahid terasah. Ia mengikuti banyak aktivitas, mulai dari kursus bahasa Inggris dan Arab. Nur Wahid kemudian diangkat sebagai Staf Andalan Koordinator Urusan Keskretariatan, ketika duduk di kelas V Pondok Gontor.
                        Lulus dari pesantren, setingkat dengan SMA pada 1978, Nur Wahid yang berkeinginan masuk Fakultas Kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya mendaftar ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijogo, Yogyakarta dan diterima dengan mengambil jurusan Fakultas Syari’ah. Di kampus ini ia sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Setahun kemudian, yaitu pada 1979, dengan penguasaan ilmu bahasa Arab dan hafalan Al-Quran, Nur Wahid diterima di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi dengan program beasiswa. Karena itulah, ia pun melepaskan kuliahnya di IAIN Sunan Kalijogo untuk melanjutkan kuliah di Universitas Islam Madinah, tepatnya di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Jurusan Aqidah yang ia selesaikan pada 1983.
Hidayat Nur Wahid mengaku tidak pernah berpikir untuk melanjutkan pendidikannya sampai ke tingkat pascasarjana, apalagi sampai program doctoral. Namun, secara tiba-tiba nama Hidayat Nur Wahid tercatat sebagai salah seorang nominator yang berhak mengikuti ujian pascasarjana yang dikeluarkan oleh Universitas Islam Madinah tersebut. Bahkan , ia mendapatkan informasi tersebut dari orang lain. Berbekal keyakinan dan kepasrahan kepada Allah SWT, Nur Wahid mengikuti ujian seleksi dan ia berhasil lulus.
Tahun 1987, Nur Wahid lulus program pascasarjana. Kali ini, ia mengambil program doctoral karena ada paksaan dari salah satu dosen pembimbingnya. Padahal, sudah lebih Sembilan tahun ia bermukim di Arab Saudi dan berencana untuk pulang ke Indonesia. Akhirnya, kesempatan mengenyam pendidikan program doktoral dan diselesaikan pada 1992.

Pada 1990, Nur Wahid menikah dengan Hj. Kastrian Indriawati. Dari pernikahan tersebut , Nur wahid mempunyai dua orang pitri dan dua orang putra, yaitu Inayatu Dzil Izzati, Ruzaina, Alla Khairi, dan Hubaib Shidqi. Kesibukan Nur Wahid baik di bidang pendidikan, oraganisasi, dan politik tidak mengurangi kedekatannya dengan keluarga. Untuk keluarga, ia berusaha berlaku adil karena segala sesuatu memiliki hak, baik hak keluarga maupun dalam mengurus dakwah partai. Bagi Hidayat Nur Wahid, kedua hal tersebut saling melengkapi. Karena alasan itu pula, ia memilih tinggal dekat dengan Islamic Centre Iqro untuk megontrol anak-anaknya agar berada di lingkungan yang terkondisikan dengan baik.
Setelah meraih gelar master dan doktor bidang akidah, pada 1993, Nur Wahid kembali ke Tanah Air. Ia menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Jakrta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nur Wahid juga aktif dalam berbagai kegiatan dakwah serta mengelola sejumlah yayasan berbendera Islam yaitu Yayasan Al-Khairat dan Yayasan Al-Haramain.
Ketetarikan Hidayat Nur Wahid pada politik praktis dimulai ketika pemerintah memberlakukan sistem multipartai. Saat itu, Nur Wahid menjadi salah seorang pendiri Partai Keadilan (PK) pada 20 Juli 1998. Dan ia menjabat sebagai ketua Majelis Pertimbangan Partai hingga tahun 2000. Pada saat Presiden Partai Keadilan, Nur Mahmudi Ismail, ditunjuk Presiden Abdurahman Wahid sebagai Menteri Kehutanan, ia dipercaya memegang kepemimpinan Partai keadilan.
Kemunculan Hidayat Nur Wahid dalam kancah politik praktis disorot oleh cendekiawan Muslim Azyumardi Azra yang ketika menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta sebagai hal yang fenomenal. Fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR dan semuah kiprah PKS merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai pengarusutamaan politik Islam (mainstreaming of Islamic politic).
Begitu juga ketika Partai Keadilan, karena tidak memenuhi batas minimum electoral treshold dalam pemilu 1998, berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2003, Nur Wahid dipercaya sebagai Presiden Partai sampai pada 2004. Saat itu, melepaskan jabatan tersebut karena terpilih menjadi Ketua MPR RI periode 2004-2009 (bersama AM Fatwa, M.Aksa Mahmud, dan Mooryati Soedibyo yang dicalonkan secara paket oleh Fraksi PKS, PAN, Kebangkitab Bangsa, Partai Demokrat, Persatuan Pembangunan, Bintang Pelopor Demokrasi).
Kebiasaan berolahraga Sepak bola dan bulutangkis merupakan olahraga yang paling diminatinya. Kebiasaan ini tidak dilepaskannya saat menjabat sebagai ketua MPR RI. Setiap pagi ia bermain bulutangkis bersama jamaah Masjid Al-Qalam Pondok Gede. Menurut Hidayat Nur Wahid, dengan rutin berolahraga stamina kerja seseorang menjadi meningkat.Ia bahkan merasakan arti penting olahraga ketika terjun mengurus partai politik. Karena aktivitas politik juga memerlukan fisik yang prima. ”Olahraga itu bagian dari sunnah, yakni menjaga kesehatan fisik. Nabi saja tangguh dalam berkuda, memanah dan gulat,” kata Hidayat Nur Wahid.
Dalam membawa biduk Partai Keadilan mengarungi kancah politik, ia menjelaskan lima tantangan  yaitu pertama, masalah pencitraan. Hal ini termasuk permasalahan krusial. Kadang-kadang hanya dari citra untuk mengambil sikap. Kedua, faktor konsolidasi internal. Ketiga adalah faktor sosialisasi dan komunikasi massa. Keempat masalah di masyarakat. Kelima adalah masalah finansial.
Ketika masih memimpin PKS, Hidayat Nur Wahid sangat selektif dalam soal kepemimpinan dan kepengurusan. Namun, langkah tersebut diakuinya bukan berarti PKS eksklusif. Sikap politik dan ketegasan yang ditunjukkan Hidayat Nur Wahid dalam memimpin partai PKS selalu tampil simpatik dalam menyikapi berbagi masalah dalam negeri maupun dunia.
Setelah menjabat ketua MPR RI, Nur Wahid tetap menjadi sosok sederhana dalam keseharian. Pola hidup sederhana pun ditebarkan Hidayat Nur Wahid di senayan. Dengan tegas, beliau menolak segala fasilitas mewah yang diberikan kepadanya selaku ketua MPR RI. Penolakan ini bermula dari adanya rapat koordinasi jajaran pemimpin MPR RI pada 13 Oktober 2004.
Sebagai pejabat Negara, Hidayat Nur Wahid adalah orang yang serius dalam hal penanganan korupsi di Indonesia. Ia selalu menekankan penegakan hokum dalam memberantas korupsi, khususnya di kalangan pejabat. Bermunculannya kasus-kasus dugaan korupsi yang ditangani penegak hukum, bagi Hidayat Nur Wahid adalah gejala yang baik dan juga menunjukkan adanya komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
Salah satu karakter Hidayat Nur Wahid yang patut mendapat pujian adalah “menundukkan kepala”, menganggap bahwa jabatan yang melekat dalam dirinya bukanlah penghalang untuk melakukan hal-hal yang sering dianggap sebagai remeh-temeh. Bahkan penampilan Hidayat Nur Wahid pun tidak menimbulakn kesan bahwa ia adalah pejabat tinngi. Tak heran, sosok Hidayat Nur Wahid adalah teladan bagi siapa pun. Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Tidak Pernah ada yang menyangka, seorang pimpinan MPR RI bebaur dengan para relawan lain mengangkut kayu, memberikan pertolongan kepada para korban, bahkan turun tangan langsung mengangkat jenazah-jenazah korban bencana sekaligus menshalatinya.
Hidup sederhana, yang dilontarkan pejabat publik, umumnya lebih bagus di bibir daripada kenyataannya. Hebat sebagai slogan, tetapi busuk dalam kenyataan. Konsistensi antara omongan dan perbuatan telah menjadi barang langka. Integritas,sebagai salah satu kualitas pemimpin, telah lama hilang, yang menonjol adalah hipokrisi.
Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid menolak undangan pemerintah ke Malaysia untuk menghadiri Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Negara itu pada 31 Agustus 2007 sebagai bentuk protes atas kekerasan yang dialami warga Indonesia, termasuk tenaga kerja Indonesia (TKI). “saya lebih memilih menjenguk pak Donald Pieter Kolopita di rumah sakit daripada makan siang bersama Menlu. Saya sampaikan terima kasih atas undangan, saya lebih memilih menjenguk pak Donald di rumah sakit yang dipukuli aparat Malaysia,” katanya.
Nur Wahid mendesak pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap Malaysia agar tidak terus-menerus dilecehkan Malaysia.” Malaysia harus memberi kompensasi kepada sauadara-saudara kita yang jadi korban kekerasan aparat Malaysia,”katanya. Bukan hanya bertindak tegas, kata Nur Wahid, pemerintah Indonesia harus berani mengevaluasi hubungan diplomatik dengan Malysia. Sikap tegas itu untuk menegakkan harga diri bangsa.
Sebagai salah satu tokoh partai Islam, Hidayat mengaku prihatin melihat kondisi politik politik nasional yang cenderung dengan masalah konflik dan perpecahan. Menurut ia, situasi politik yang patologis itu dipengaruhi karakter dasar partai yang dibangun oleh paradigma kolektif para pengurusnya.
Sosok Hidayat Nur Wahid sebagai pribadi dan pemimpin berjiwa social sudah sangat di masyarakat. Dia selalu terlibat aktif dalam berbagai aktivitas social dan peduli korban bencana. Sebut saja bencana banjir ibukota, tsunami Aceh, gempa Yogya dan Jateng serta lokasi lainnya. Di sisi lain aktivitasnya dalam menyantuni anak yatim,pembangunan masjid dan pesantren, pemberian beasiswa bagi pelajar tak mampu.
Kepedulian Hidayat terhadap keutuhan NKRI yang berdasarkan pancasila juga tak diragukan lagi. Dalam berbagai kesempatan Hidayat selalu menegaskan “Pancasila dan NKRI adalah kesepakatan final bangsa Indonesia”. Begitu pula komitmennya pada UUD 1945. Hidayat selalu menyatakan sebagai pihak yang berada di garda terdepan untuk mempertahankannya.
Hidayat juga diterima tokoh-tokoh internasional. Sejumlah seminar,dialog,dan forum-forum diskusi tingkat internasional dihadirinya. Mulai dari dialog agama di Makkah, dialog antaragama di Madrid, Spanyol, seminar isu-isu kontemporer dengan Lee Kuan Yew di Singapura hingga konferensi internasional Amerika dan Islam di Doha,Qatar.

3 komentar: