Biografi Hidayat Nur Wahid
Hidayat Nur Wahid adalah
salah seorang tokoh panutan dan menjadi teladan bagi dunia politik Indonesia.
Nur Wahid adalah ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR),Sekaligus politisi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nama dan gelar lengkapnya Dr. H. Muhammad
Hidayat Nur Wahid,M.A. Ia dilahirkan di Klaten, pada tanggal 8 April 1960. Ia
merupakan putra sulung dari tujuh bersaudara, pasangan H.Muhamad Syukri dan
Siti Rahayu.
Sejak kecil, ia hidup
sederhana dan agamis. Ayahnya, H. Muhammad Syukri (almarhum) memegang ijazah
Sarjana Muda dari IKIP Negeri Yogyakarta. Meskipun berlatar Nadlatul Ulama(NU),
Muhammad Syukri tercatat pula sebagai seorang pengurus Muhammadiyah. Ia
berkarier di jalur pendidikan . Mulai menjadi guru SD,SMP,hingga akhirnya
menjadi Kepala Sekolah di STM Prambanan. Sedangkan ibunya, Siti Rahayu sebagai
aktivis Aisyiah, organisasi wanita Muhammadiyah. Ia juga berprofesi sebagai
guru Tk, hanya saja sang ibu berhenti sebagai guru TK ketika anak keduanya
lahir.
Sebagai anak guru, Nur
Wahid mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Kecerdasan Nur Wahid sudah
terlihat sejak masih kanak-kanak. Ia sudah bisa membaca sebelum masuk SD.
Kegemarannya membaca itu berlanjut sampai sekarang. Di masa anak-anak dan
remaja, Nur Wahid mengaku gemar membaca komik Ko Ping Ho. “itu bacaan favorit
saya,” katanya Nur Wahid. Selain membaca komik, Hidayat juga suka membaca
buku-buku sastra dan sejarah milik ayahnya dan keluarganya. Saat sekolah, Nur
Wahid terhitung murid yang pintar. Di bangku SD Negeri 1 Kebondalem
Kidul,Prambanan, dia selalu mendapat predikat juara. Meski belajar di SD
Negeri, Nur Wahid menambah ilmu agama dengan mengaji di masjid pada malam hari.
Selain itu, ia juga belajar membaca Al Quran secara privat kepada seorang kiai
di desanya.
Selain beban belajar
agama, Nur Wahid kecil juga diajar mengenal tanggung jawab pada keluarga.
Ketika Nur Wahid duduk di kelas 3 SD, orangtuanya membelikan seekor kambing
yang harus dikembalakan antara waktu Ashar hingga Maghrib. Dari kegiatan
menggembala kambing
Inilah Nur Wahid mengaku
belajar banyak hal. Mulai dari bertanggung jawab mencari rumput, ke mana harus
menggembalakan kambing, hingga belajar tanggung jawab agar kambing-kambingnya
tidak memakan tanaman petani. Nur Wahid menilai, orangtuanya mendidik anak-anaknya
dengan keras dan disiplin. Nur Wahid harus menjalani jam belajar, jam tidur,
dan jam shalat secara disiplin.
Setelah lulus dari SD pada 1972, Nur Wahid
dimasukkan oleh ayahnya ke Pesantren Wlisongo, Ngabar, Ponorogo. Satu tahun
kemudian ia dipindahkan ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Di
Gontor, Nur Wahid termasuk santri cerdas. Ia selalu mendapat ranking atas.
Tidak hanya prestasi akademik, di kegiatan ekstra maupun intrakurikuler ia
terlibat aktif. Dengan aktivitas pondok yang padat dan disiplin, jiwa
kepemimpinan Nur Wahid terasah. Ia mengikuti banyak aktivitas, mulai dari
kursus bahasa Inggris dan Arab. Nur Wahid kemudian diangkat sebagai Staf
Andalan Koordinator Urusan Keskretariatan, ketika duduk di kelas V Pondok
Gontor.
Lulus dari pesantren, setingkat dengan SMA
pada 1978, Nur Wahid yang berkeinginan masuk Fakultas Kedokteran di Universitas
Gadjah Mada (UGM) akhirnya mendaftar ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Sunan Kalijogo, Yogyakarta dan diterima dengan mengambil jurusan Fakultas
Syari’ah. Di kampus ini ia sempat mengikuti Training Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI).
Setahun kemudian, yaitu
pada 1979, dengan penguasaan ilmu bahasa Arab dan hafalan Al-Quran, Nur Wahid
diterima di Universitas Islam Madinah, Arab Saudi dengan program beasiswa.
Karena itulah, ia pun melepaskan kuliahnya di IAIN Sunan Kalijogo untuk
melanjutkan kuliah di Universitas Islam Madinah, tepatnya di Fakultas Dakwah
dan Ushuluddin Jurusan Aqidah yang ia selesaikan pada 1983.
Hidayat Nur Wahid mengaku
tidak pernah berpikir untuk melanjutkan pendidikannya sampai ke tingkat
pascasarjana, apalagi sampai program doctoral. Namun, secara tiba-tiba nama
Hidayat Nur Wahid tercatat sebagai salah seorang nominator yang berhak mengikuti
ujian pascasarjana yang dikeluarkan oleh Universitas Islam Madinah tersebut.
Bahkan , ia mendapatkan informasi tersebut dari orang lain. Berbekal keyakinan
dan kepasrahan kepada Allah SWT, Nur Wahid mengikuti ujian seleksi dan ia
berhasil lulus.
Tahun 1987, Nur Wahid
lulus program pascasarjana. Kali ini, ia mengambil program doctoral karena ada
paksaan dari salah satu dosen pembimbingnya. Padahal, sudah lebih Sembilan
tahun ia bermukim di Arab Saudi dan berencana untuk pulang ke Indonesia.
Akhirnya, kesempatan mengenyam pendidikan program doktoral dan diselesaikan
pada 1992.
Pada 1990, Nur Wahid
menikah dengan Hj. Kastrian Indriawati. Dari pernikahan tersebut , Nur wahid
mempunyai dua orang pitri dan dua orang putra, yaitu Inayatu Dzil Izzati,
Ruzaina, Alla Khairi, dan Hubaib Shidqi. Kesibukan Nur Wahid baik di bidang
pendidikan, oraganisasi, dan politik tidak mengurangi kedekatannya dengan
keluarga. Untuk keluarga, ia berusaha berlaku adil karena segala sesuatu
memiliki hak, baik hak keluarga maupun dalam mengurus dakwah partai. Bagi
Hidayat Nur Wahid, kedua hal tersebut saling melengkapi. Karena alasan itu
pula, ia memilih tinggal dekat dengan Islamic Centre Iqro untuk megontrol
anak-anaknya agar berada di lingkungan yang terkondisikan dengan baik.
Setelah meraih gelar
master dan doktor bidang akidah, pada 1993, Nur Wahid kembali ke Tanah Air. Ia
menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Jakrta dan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta. Nur Wahid juga aktif dalam berbagai kegiatan
dakwah serta mengelola sejumlah yayasan berbendera Islam yaitu Yayasan
Al-Khairat dan Yayasan Al-Haramain.
Ketetarikan Hidayat Nur
Wahid pada politik praktis dimulai ketika pemerintah memberlakukan sistem
multipartai. Saat itu, Nur Wahid menjadi salah seorang pendiri Partai Keadilan
(PK) pada 20 Juli 1998. Dan ia menjabat sebagai ketua Majelis Pertimbangan
Partai hingga tahun 2000. Pada saat Presiden Partai Keadilan, Nur Mahmudi
Ismail, ditunjuk Presiden Abdurahman Wahid sebagai Menteri Kehutanan, ia
dipercaya memegang kepemimpinan Partai keadilan.
Kemunculan Hidayat Nur
Wahid dalam kancah politik praktis disorot oleh cendekiawan Muslim Azyumardi
Azra yang ketika menjabat Rektor UIN Syarif Hidayatullah,Jakarta sebagai hal
yang fenomenal. Fenomena kemunculan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR dan
semuah kiprah PKS merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai
pengarusutamaan politik Islam (mainstreaming of Islamic politic).
Begitu juga ketika Partai
Keadilan, karena tidak memenuhi batas minimum electoral treshold dalam
pemilu 1998, berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2003,
Nur Wahid dipercaya sebagai Presiden Partai sampai pada 2004. Saat itu,
melepaskan jabatan tersebut karena terpilih menjadi Ketua MPR RI periode
2004-2009 (bersama AM Fatwa, M.Aksa Mahmud, dan Mooryati Soedibyo yang
dicalonkan secara paket oleh Fraksi PKS, PAN, Kebangkitab Bangsa, Partai
Demokrat, Persatuan Pembangunan, Bintang Pelopor Demokrasi).
Kebiasaan berolahraga Sepak
bola dan bulutangkis merupakan olahraga yang paling diminatinya. Kebiasaan ini
tidak dilepaskannya saat menjabat sebagai ketua MPR RI. Setiap pagi ia bermain
bulutangkis bersama jamaah Masjid Al-Qalam Pondok Gede. Menurut Hidayat Nur
Wahid, dengan rutin berolahraga stamina kerja seseorang menjadi meningkat.Ia
bahkan merasakan arti penting olahraga ketika terjun mengurus partai politik.
Karena aktivitas politik juga memerlukan fisik yang prima. ”Olahraga itu bagian
dari sunnah, yakni menjaga kesehatan fisik. Nabi saja tangguh dalam berkuda,
memanah dan gulat,” kata Hidayat Nur Wahid.
Dalam membawa biduk Partai
Keadilan mengarungi kancah politik, ia menjelaskan lima tantangan yaitu pertama, masalah pencitraan. Hal ini
termasuk permasalahan krusial. Kadang-kadang hanya dari citra untuk mengambil
sikap. Kedua, faktor konsolidasi internal. Ketiga adalah faktor sosialisasi dan
komunikasi massa. Keempat masalah di masyarakat. Kelima adalah masalah
finansial.
Ketika masih memimpin PKS,
Hidayat Nur Wahid sangat selektif dalam soal kepemimpinan dan kepengurusan.
Namun, langkah tersebut diakuinya bukan berarti PKS eksklusif. Sikap politik
dan ketegasan yang ditunjukkan Hidayat Nur Wahid dalam memimpin partai PKS
selalu tampil simpatik dalam menyikapi berbagi masalah dalam negeri maupun
dunia.
Setelah menjabat ketua MPR
RI, Nur Wahid tetap menjadi sosok sederhana dalam keseharian. Pola hidup
sederhana pun ditebarkan Hidayat Nur Wahid di senayan. Dengan tegas, beliau
menolak segala fasilitas mewah yang diberikan kepadanya selaku ketua MPR RI.
Penolakan ini bermula dari adanya rapat koordinasi jajaran pemimpin MPR RI pada
13 Oktober 2004.
Sebagai pejabat Negara,
Hidayat Nur Wahid adalah orang yang serius dalam hal penanganan korupsi di
Indonesia. Ia selalu menekankan penegakan hokum dalam memberantas korupsi,
khususnya di kalangan pejabat. Bermunculannya kasus-kasus dugaan korupsi yang
ditangani penegak hukum, bagi Hidayat Nur Wahid adalah gejala yang baik dan
juga menunjukkan adanya komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi.
Salah satu karakter
Hidayat Nur Wahid yang patut mendapat pujian adalah “menundukkan kepala”,
menganggap bahwa jabatan yang melekat dalam dirinya bukanlah penghalang untuk
melakukan hal-hal yang sering dianggap sebagai remeh-temeh. Bahkan penampilan
Hidayat Nur Wahid pun tidak menimbulakn kesan bahwa ia adalah pejabat tinngi.
Tak heran, sosok Hidayat Nur Wahid adalah teladan bagi siapa pun. Ibarat padi,
semakin berisi semakin merunduk. Tidak Pernah ada yang menyangka, seorang
pimpinan MPR RI bebaur dengan para relawan lain mengangkut kayu, memberikan
pertolongan kepada para korban, bahkan turun tangan langsung mengangkat
jenazah-jenazah korban bencana sekaligus menshalatinya.
Hidup sederhana, yang
dilontarkan pejabat publik, umumnya lebih bagus di bibir daripada kenyataannya.
Hebat sebagai slogan, tetapi busuk dalam kenyataan. Konsistensi antara omongan
dan perbuatan telah menjadi barang langka. Integritas,sebagai salah satu
kualitas pemimpin, telah lama hilang, yang menonjol adalah hipokrisi.
Ketua MPR RI, Hidayat Nur
Wahid menolak undangan pemerintah ke Malaysia untuk menghadiri Hari Ulang Tahun
(HUT) Kemerdekaan Negara itu pada 31 Agustus 2007 sebagai bentuk protes atas
kekerasan yang dialami warga Indonesia, termasuk tenaga kerja Indonesia (TKI).
“saya lebih memilih menjenguk pak Donald Pieter Kolopita di rumah sakit
daripada makan siang bersama Menlu. Saya sampaikan terima kasih atas undangan,
saya lebih memilih menjenguk pak Donald di rumah sakit yang dipukuli aparat
Malaysia,” katanya.
Nur Wahid mendesak
pemerintah Indonesia bersikap tegas terhadap Malaysia agar tidak terus-menerus
dilecehkan Malaysia.” Malaysia harus memberi kompensasi kepada sauadara-saudara
kita yang jadi korban kekerasan aparat Malaysia,”katanya. Bukan hanya bertindak
tegas, kata Nur Wahid, pemerintah Indonesia harus berani mengevaluasi hubungan
diplomatik dengan Malysia. Sikap tegas itu untuk menegakkan harga diri bangsa.
Sebagai salah satu tokoh
partai Islam, Hidayat mengaku prihatin melihat kondisi politik politik nasional
yang cenderung dengan masalah konflik dan perpecahan. Menurut ia, situasi
politik yang patologis itu dipengaruhi karakter dasar partai yang dibangun oleh
paradigma kolektif para pengurusnya.
Sosok Hidayat Nur Wahid
sebagai pribadi dan pemimpin berjiwa social sudah sangat di masyarakat. Dia
selalu terlibat aktif dalam berbagai aktivitas social dan peduli korban
bencana. Sebut saja bencana banjir ibukota, tsunami Aceh, gempa Yogya dan
Jateng serta lokasi lainnya. Di sisi lain aktivitasnya dalam menyantuni anak
yatim,pembangunan masjid dan pesantren, pemberian beasiswa bagi pelajar tak
mampu.
Kepedulian Hidayat
terhadap keutuhan NKRI yang berdasarkan pancasila juga tak diragukan lagi.
Dalam berbagai kesempatan Hidayat selalu menegaskan “Pancasila dan NKRI adalah
kesepakatan final bangsa Indonesia”. Begitu pula komitmennya pada UUD 1945.
Hidayat selalu menyatakan sebagai pihak yang berada di garda terdepan untuk
mempertahankannya.
Hidayat juga diterima
tokoh-tokoh internasional. Sejumlah seminar,dialog,dan forum-forum diskusi
tingkat internasional dihadirinya. Mulai dari dialog agama di Makkah, dialog
antaragama di Madrid, Spanyol, seminar isu-isu kontemporer dengan Lee Kuan Yew
di Singapura hingga konferensi internasional Amerika dan Islam di Doha,Qatar.
Siip
BalasHapus😁😁😁
BalasHapus👍👍👍👍
BalasHapus